SISTEM TRANSPORTASI HARUS TERINTEGRASI DENGAN PENATAAN RUANG
Penataan Ruang dan sistem transportasi memiliki integritas
(keterkaitan-red) yang erat dalam pembentukan ruang. Upaya penyediaan
sarana transportasi untuk perkembangan wilayah semestinya mengacu pada
Rencana Tata Ruang. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum Masyarakat
Transportasi Indonesia, Bambang Soesantono dalam Dialog Tata Ruang
Bersama Ditjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum di Radio Trijaya
FM, Rabu (1/6). Bambang menambahkan, seiring perkembangan sebuah
wilayah baik secara ekonomi maupun demografis, maka aktivitas
transportasi juga semakin meningkat. Jika hal tersebut tidak
diantisipasi maka akan timbul permasalahan di bidang transportasi,
khususnya kemacetan yang saat ini sering terjadi di kota-kota besar
Indonesia. Persoalan kemacetan merupakan masalah krusial transportasi
yang sangat terkait dengan penataan ruang. Pertumbuhan wilayah yang
menyimpang dari rencana tata ruang atau beralih fungsinya suatu kawasan
yang tidak sesuai dengan peruntukan. Dari fungsi permukiman menjadi
kawasan komersial akan menimbulkan dampak, salah satunya kemacetan. Agar
lalu lintas di kawasan komersial tersebut dapat berjalan lancar, selain
adanya jalan yang lebih luas dan penyediaan lahan untuk parkir, perlu
tersedianya Mass Rapid Transit (Sistem Angkutan Massal-red), imbuh
Bambang. ”Memang faktor penyebab kemacetan tidak semata masalah tata
ruang, ada faktor lainnya seperti sarana prasarana, sistem transportasi,
dan perilaku pengguna jalan,” tambahnya. Dosen Transportasi
Universitas Trisakti Fransiskus Trisbiantara mengatakan penyelenggaraan
MRT di kota-kota besar wajib untuk dilaksanakan. Ditargetkan
penyelesaian kegiatan tersebut akan terlaksana pada tahun 2016. Kendala
yang umumnya dihadapi dalam penyelenggaraan MRT adalah tidak adanya
budaya planning, biaya yang mahal, dan perlu konsistensi antar pemangku
kepentingan terkait. Selain itu, upaya public hearing (paparan kepada
masyarakat-red) tentang Undang-undang Penataan Ruang harus terus
dilakukan, agar masukan masyarakat terhadap perbaikan sarana
transportasi dapat terfasilitasi. ”Bentuk masukan masyarakat tersebut
akan dituangkan dalam Rencana Tata Ruang yang berperan sebagai
fasilitator dan komandan pembangunan terpadu seluruh sektor, tegas
Trisbiantara. Ada empat alternatif pilihan dalam pemecahan masalahan
transportasi. Yakni, penyediaan angkutan umum yang murah dan nyaman,
desentralisasi strategi, peralihan dari angkutan pribadi menuju angkutan
massal, dan pembatasan lalu lintas. Khusus untuk desentralisasi
strategi, pemecahan konsentrasi kegiatan dari pusat kota ke wilayah
pinggiran merupakan upaya pemerataan. ”Sehingga kemacetan yang sering
terjadi di pusat kota akibat penggunaan waktu, jalur, dan banyaknya
pemakaian kendaraan pribadi dalam waktu yang sama dapat diminimalisir,”
ungkap Tris. Menurut Trisbiantara, sebagai upaya untuk mewujudkan kota
yang nyaman dan aman ke depan, dapat dilaksanakan development impact fee
(keterkaitan antara tata ruang dengan transportasi), dimana pelaku yang
ingin membangun kegiatan komersial dapat dikenakan retribusi lebih
besar. ”Dalam pelaksanaannya hampir sama dengan pemberian mekanisme
insentif-disinsentif seperti yang tertuang dalam UUPR,” tandas Tris.
(hms taru)
Sumber : www.pu.go.id