Selasa, 24 Januari 2012

SISTEM TRANSPORTASI HARUS TERINTEGRASI DENGAN PENATAAN RUANG

Penataan Ruang dan sistem transportasi memiliki integritas (keterkaitan-red) yang erat dalam pembentukan ruang. Upaya penyediaan sarana transportasi untuk perkembangan wilayah semestinya mengacu pada Rencana Tata Ruang. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia, Bambang Soesantono dalam Dialog Tata Ruang Bersama Ditjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum di Radio Trijaya FM, Rabu (1/6). Bambang menambahkan, seiring perkembangan sebuah wilayah baik secara ekonomi maupun demografis, maka aktivitas transportasi juga semakin meningkat. Jika hal tersebut tidak diantisipasi maka akan timbul permasalahan di bidang transportasi, khususnya kemacetan yang saat ini sering terjadi di kota-kota besar Indonesia. Persoalan kemacetan merupakan masalah krusial transportasi yang sangat terkait dengan penataan ruang. Pertumbuhan wilayah yang menyimpang dari rencana tata ruang atau beralih fungsinya suatu kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukan. Dari fungsi permukiman menjadi kawasan komersial akan menimbulkan dampak, salah satunya kemacetan. Agar lalu lintas di kawasan komersial tersebut dapat berjalan lancar, selain adanya jalan yang lebih luas dan penyediaan lahan untuk parkir, perlu tersedianya Mass Rapid Transit (Sistem Angkutan Massal-red), imbuh Bambang. ”Memang faktor penyebab kemacetan tidak semata masalah tata ruang, ada faktor lainnya seperti sarana prasarana, sistem transportasi, dan perilaku pengguna jalan,” tambahnya. Dosen Transportasi Universitas Trisakti Fransiskus Trisbiantara mengatakan penyelenggaraan MRT di kota-kota besar wajib untuk dilaksanakan. Ditargetkan penyelesaian kegiatan tersebut akan terlaksana pada tahun 2016. Kendala yang umumnya dihadapi dalam penyelenggaraan MRT adalah tidak adanya budaya planning, biaya yang mahal, dan perlu konsistensi antar pemangku kepentingan terkait. Selain itu, upaya public hearing (paparan kepada masyarakat-red) tentang Undang-undang Penataan Ruang harus terus dilakukan, agar masukan masyarakat terhadap perbaikan sarana transportasi dapat terfasilitasi. ”Bentuk masukan masyarakat tersebut akan dituangkan dalam Rencana Tata Ruang yang berperan sebagai fasilitator dan komandan pembangunan terpadu seluruh sektor, tegas Trisbiantara. Ada empat alternatif pilihan dalam pemecahan masalahan transportasi. Yakni, penyediaan angkutan umum yang murah dan nyaman, desentralisasi strategi, peralihan dari angkutan pribadi menuju angkutan massal, dan pembatasan lalu lintas. Khusus untuk desentralisasi strategi, pemecahan konsentrasi kegiatan dari pusat kota ke wilayah pinggiran merupakan upaya pemerataan. ”Sehingga kemacetan yang sering terjadi di pusat kota akibat penggunaan waktu, jalur, dan banyaknya pemakaian kendaraan pribadi dalam waktu yang sama dapat diminimalisir,” ungkap Tris. Menurut Trisbiantara, sebagai upaya untuk mewujudkan kota yang nyaman dan aman ke depan, dapat dilaksanakan development impact fee (keterkaitan antara tata ruang dengan transportasi), dimana pelaku yang ingin membangun kegiatan komersial dapat dikenakan retribusi lebih besar. ”Dalam pelaksanaannya hampir sama dengan pemberian mekanisme insentif-disinsentif seperti yang tertuang dalam UUPR,” tandas Tris. (hms taru)
Sumber : www.pu.go.id